Kelompok 7
Nama Anggota:
-Rini Andriani
-Alfian Ardiansyah
-Luthfy
Aqil Mahendra
-Sella
Safitri
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji hanya bagi Allah semata,
sang pencipta alam semesta, yang selalu melimpahkan karunianya, sehingga kami
dapat merangkumkan makalah ini. sholawat serta salam senantiasa kami haturkan
kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW. Beserta keluarganya dan para
sahabatnya.
Makalah ini di susun bertujuan untuk mengetahui
tentang Sejarah Peradaban Islam Pada Kerajaan Kota Pontianak, tujuan
mempelajari, sejarah peradabannya, pertama kali masuknya islam di Kota
Pontianak, serta hal-hal yang berhubungan dengan Sejarah Peradaban Islam di
Kota Pontianak. Makalah ini kami buat dengan mengambil bahan dari internet dan
buku-buku yang membahas tentang Sejarah
Peradaban Islam pada Kerajaan Kota Pontianak.
Kami harap setelah kami membuat makalah ini,
pembaca bisa mengambil hikmah dan ilmu dari mkalah ini, dan semoga penyajian
makalah ini dapat membantu kita semua dalam mata kuliah Sejarah Peradaban
Islam.
Pontianak,
10-april-2016
Penyusun
Kerajaan Pontianak
A. Sejarah Berdirinya Kota Pontianak
Sejarah pendirian kota Pontianak yang dituliskan oleh seorang sejarawan
Belanda, VJ. Verth dalam bukunya ''Borneos Wester Afdeling'', yang isinya
sedikit berbeda dari versi cerita yang beredar di kalangan masyarakat saat ini.
Menurutnya, Belanda mulai masuk ke Pontianak tahun 1194 Hijriah 1773 Masehi
dari Batavia. Verth menulis bahwa Syarif Abdurrahman, putra ulama Syarif
Hussein bin Ahmed Alqadrie (atau dalam versi lain disebut sebagai Al Habib Husin), meninggalkan
Kerajaan Mempawah dan mulai merantau. Di wilayah Banjarmasin, ia menikah dengan
adik sultan Banjar Sunan Nata Alamdan dilantik sebagai Pangeran Syarif Pangeran. Ia berhasil dalam
perniagaan dan mengumpulkan cukup modal untuk mempersenjatai kapal pencalang
dan perahu lancangnya, kemudian ia mulai melakukan perlawanan terhadap
penjajahan Belanda.
Dengan bantuan Sultan Pasir, Syarif Abdurrahman kemudian berhasil membajak
kapal Belanda di dekat Bangka, juga kapal Inggris dan Perancis di Pelabuhan
Pasir. Abdurrahman menjadi seorang kaya dan kemudian mencoba mendirikan
pemukiman di sebuah pulau di Sungai Kapuas. Ia menemukan percabangan Sungai
Landak dan kemudian mengembangkan daerah itu menjadi pusat perdagangan yang
makmur. Wilayah inilah yang kini bernama Pontianak.
Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie adalah pendiri dan sultan pertama
Kerajaan Pontianak. Ia dilahirkan pada tahun 1142 Hijriah / 1729 / 1730 , putra
Al-Habieb Husin, seorang penyebar ajaran Islam yang berasal dari Arab.
Setelah tiga bulan ayahnya wafat
(1184 H) di Mempawah, maka Syarif Abdurrahman mengajak kaum keluargannya
bermusyawarah untuk meninggalkan Mempawah. Mereka berangkat dengan menggunakan
empat belas kapal/perahu yang bernama “KAKAP”. Di malam gelap berhentilah
mereka untuk menunggu hari siang. Tempat peristirahatan mereka oleh penduduk
menamainya yang masih terkenal dengan sebutan “KELAPA TINGGI SEGEDONG”.
Hampir-hampir mereka mendirikan pusat kerajaannya di tempat ini. Karena tidak sesuai dengan maksud Abdurrahman, berangkatlah mereka memutar haluan masuk
sungai kapuas kecil. Sepanjang perjalanan menyusuri sungai kapuas kecil ke
daerah Batu Layang, tak henti-hentinya gangguan makhluk-makhluk halus, alias
hantu pontianak yang menakutkan itu. Adalah salah satu gangguan yang menghambat
perjalanan maju. Syarif Abdurahman yang berani berpengalaman itu mengambil sikap
tegas. Untuk melanjutkan perjalanan harus berhenti menunggu hari siang.
Besok paginya, Syarif Abdurahman menembakkan peluru meriamnya. Ia berkata :
“ dimana peluru ini jatuh, disitulah kota kerajaan kita akan bangun. Selain
dari membangun Ibu Kota, ia pun bermaksud mau mengusir hantu-hantu Pontianak
pengganggu itu. Peluru telah berangkat mendahului mereka. Sekarang mereka
mengikutinya. Peluru telah diketemukan ditempat dimana Masjid “ JAMI’ SULTAN
PONTIANAK ” sekarang ini. Pertama-tama mereka mendidirikan Masjid untuk
berbakti. Kemudian membangun keraton.
Menurut pendapat Syarif Abdurahman bahwa tempat inilah yang paling tepat,
strategis perang dan perdagangan. Ditetapkannyalah tempat ini menjadi Ibu Kota
Kerajaannya.
Pontianak adalah sebagai kerajaan yang paling akhir didirikan di Kalimantan
Barat. Didirikan sezaman dengan pemerintahan Van Der Parra ( 1761-1775).
Gubernur jendral V.O.C yang ke 29. Pendirinya adalah putra sulung dari Al-Habib
Husin Al-Qadri yang bernama Pangeran Syarif Abdurahman. Menurut panitia hari
jadi Kota Pontianak, kota ini didirikan pada tanggal 23 Oktober 1771 ( 14 Rajab
1185 H ). Jelas bahwa kerajaan ini didirikan semasa Islam telah berkembang di
Kalimantan Barat.
Sebelum Kota Pontianak didirikan pemuda Syarif Abdurahman telah terkenal
sebagai seseorang yang berjiwa Maritim. Persiapan yang cukup meyakinkan bahwa Kota Pontianak yang didirikan
dipersimpangan sungai landak dan sungai kapuas kecil, yang dewasa itu ditutupi
dengan hutan belukar. Diisukan sebagai daerah angker dengan penghuninya hantu
pontianak. Dipandang dari sudut ekonomis dan agraris strategis maritim adalah
sangat tepat. Buat pemikiran ini dapat disaksikan dengan berkembangnya kota ini
menjadi pemerintahan dan Ibu Kota Provinsi Kalimantan Barat. Kota yang baru
berkembang ini merupakan pusat imigrasi suku-suku bangsa Indonesia dan luar
Indonesia. Dilapangan Religi dan budaya ia merupakan basis penyebar agama Islam
ke daerah Hinterland dan merupakan pula pusat kebudayaan hasil proses
akulturasi yang telah berasimilasi dengan unsur-unsur kebudayaan melayu, jawa,
bugis dan lain-lainnya yang kemudian berintegrasi dengan kebudayaan asli daerah
ini. Kota yang terakhir muncul ini mendapat kehormatan untuk menerima dan
memegang supermasi dan hegemoni dalam segala bidang atas kerajaan-kerajaan di
Kalimantan Barat.
Mengenai issue hantu Pontianak penghuni tempat mendirikan Masjid dan
Keraton Pontianak ( Tanjung Beting ) menurut tutur kata dan cerita tua-tua
kampung, bahwa ini benar-benar ada. Diwaktu Sultan Abdurahman mau membangun
Masjid yang pertama ditempat itu terdiri sebatang kayu besar yang ditebang
sebelum mendirikan Masjid tersebut. Karena persiapan untuk membangun Masjid,
mula-mula rombongannya membuat pondok-pondok beratap daun lalang untuk
sementara dalam pondok-pondok tersebut, tak kunjung henti penghuni atau hantu
Pontianak ini mengganggu ketentraman mereka. Jelas selama mereka menghuninya
tak pernah merasa aman. Selalu ada saja gangguan setan Pontianak.
Terlahirlah
suatu kota pada tanggal 24 Rajab 1181 Hijriah yang bertepatan pada tanggal 23
Oktober 1771 Masehi, kota yang berdiri di daerah tropis. Asal mulanya kota
tersebut datangnya rombongan Syarif Abdurrahman Alkadrie yang membuka hutan di
persimpangan tiga Sungai Landak Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Kapuas.
Hal ini
dilakukan oleh rombongan Syarif Abdurrahman Alkadrie untuk mendirikan
balai dan rumah sebagai tempat tinggal. terurai insiatif para rombongan untuk
memberi nama tempat mereka tinggal dengan nama PONTIANAK. Ya, terlahirlah nama
kota tersebut yang masih dikenal hingga kini.
Pada tahun
1192 Hijriah, Syarif Abdurrahman Alkadrie dinobatkan sebagai Sultan Pontianak
Pertama. yang letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Raya Sultan Abdurrahman Alkadrie dan Istana
Kadariah, yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis Kecamatan Pontianak
Timur.
Adapun
Sultan yang pernah memegang tampuk Pemerintahan Kesultanan Pontianak:
1. Syarif
Abdurrahman Alkadrie memerintah dari tahun 1771-1808
2. Syarif
Kasim Alkadrie memerintah dari tahun 1808-1819.
3. Syarif
Osman Alkadrie memerintah dari tahun 1819-1855.
4. Syarif
Hamid Alkadrie memerintah dari tahun 1855-1872.
5. Syarif
Yusuf Alkadrie memerintah dari tahun 1872-1895.
6. Syarif
Muhammad Alkadrie memerintah dari tahun 1895-1944.
7. Syarif
Thaha Alkadrie memerintah dari tahun 1944-1945.
8. Syarif
Hamid Alkadrie memerintah dari tabun 1945-1950.
Syarif Abdurrahman, yang kemudian menjadi pendiri Kesultanan Pontianak,
adalah putra Al Habib Husin, seorang penyebar ajaran Islam yang berasal Arab.
Tiga bulan setelah ayahnya wafat pada tahun 1184 Hijriah di Kerajaan Mempawah,
Syarif Abdurrahman bersama dengan saudara-saudaranya bermufakat untuk mencari
tempat kediaman baru. Mereka berangkat dengan 14 perahu Kakap menyusuri Sungai
Peniti. Waktu dhohor mereka sampai di sebuah tanjung, Syarif Abdurrahman
bersama pengikutnya menetap di sana. Tempat itu sekarang dikenal dengan nama
Kelapa Tinggi Segedong.
Namun Syarif Abdurrahman mendapat firasat bahwa tempat itu tidak baik untuk
tempat tinggal dan ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mudik ke hulu
sungai. Tempat Syarif Abdurrahman dan rombongan sembahyang dhohor itu kini
dikenal sebagai Tanjung Dhohor.
Ketika menyusuri Sungai Kapuas, mereka menemukan sebuah pulau, yang kini
dikenal dengan nama Batu Layang, dimana sekarang di tempat itulah Syarif
Abdurrahman beserta keturunannya dimakamkan. Di pulau itu mereka mulai mendapat
gangguan hantu Pontianak. Syarif Abdurrahman lalu memerintahkan kepada seluruh
pengikutnya agar memerangi hantu-hantu itu. Setelah itu, rombongan kembali
melanjutkan perjalanan menyusuri Sungai Kapuas. Menjelang subuh 14 Rajab 1184
Hijriah atau 23 Oktober 1771, mereka sampai pada persimpangan Sungai Kapuas dan
Landak Setelah delapan hari menebas pohon di daratan itu, maka Syarif
Abdurrahman lalu membangun sebuah rumah dan balai, dan kemudian tempat tersebut
diberi nama Pontianak. Di tempat itu kini berdiri Masjid Jami dan Keraton
Pontianak.
Akhirnya pada tanggal 8 bulan Sya'ban 1192 Hijriah, dengan dihadiri oleh
Raja Muda Riau, Raja Mempawah, Landak, Kubu dan Matan, Syarif Abdurrahman
dinobatkan sebagai Sultan Pontianak dengan gelar Syarif Abdurrahman Ibnu Al
Habib Alkadrie. Tahun 1194 Hijriah (1773 Masehi), Belanda masuk ke daerah ini dari Betawi.
Kota ini terkenal sebagai Kota Khatulistiwa karena dilalui garis lintang
nol derajat bumi. Di utara kota ini, tepatnya Siantan, terdapat monumen atau
Tugu Khatulistiwa yang dibangun pada tempat yang tepat dilalui garis lintang
nol derajat bumi. Selain itu Kota Pontianak juga dilalui Sungai Kapuas yang
adalah sungai terpanjang di Indonesia. Sungai Kapuas membelah kota Pontianak ,
simbolnya diabadikan sebagai lambang Kota Pontianak.
B. Masuknya Islam di Pontianak
Di Kalimantan,
Islam masuk melalui Pontianak yang disiarkan oleh Bangsawan Arab Bernama Sultan
Syarif Abdurrahman pada abad ke-18. Di hulusungai Pawan, di Ketapang,
Kalimantan Barat ditemukan Pemakaman Islam Kuno.
Masuknya
Islam di Kalimantan ini juga tidak luput dari perjuangan ayahnya Sultan Syarif
Abdurrahman Al-Qadrie yaitu Habib Husein Al-Qadrie.
Dalam
perspektif yang berbeda kedatangan Islam ke Kalimantan Barat melalui kekuatan
Ekonomi dan Perdagangan. Seperti didaerah-daerah lainnya di Nusantara. Islam disebarkan
oleh pedagang-pedagang muslim dan da’i-da’I kelana, yang juga tertarik pada
perdagangan atau semata-semata bertujuan menyebarkan Islam.
Di Mempawah
Habib Husein Al-Qadrie sebelum Wafatnya pada tanggal 3 Dzulhizah 1184 H, beliau
menikahkan putranya yang bernama Syarif Abdurrahman Al-Qadrie dengan putrid
Raja Mempawah Utin Cendramidi. Ketika beliau berada di Banjar oleh Sultan
Banjar diangkat menjadi pangeran Sayid Abdurrahman Nur Alam yang kemudian
menjadi Raja Pontianak dengan gelar Sri Sultan Syarif Abdurrahman bin Habib
Husein Al-Qadrie.
Umat Islam
pada masa awal masuknya Islam yang dibawa oleh Syarf
Husein bin Ahmad Al-Qadrie, penganut Islam masih sedikit. Tetapi, setelah
berdirinya kerajaan Islam Pontianak pada tahun 1771 miladiyah, maka agama Islam
menjadi agama yang mayoritas. Kesultanan Pontianak dengan Rajanya yang bernama
SultanSyarif
Abdurrahman
Al-Qadrie, yang menjadi salah seorang penyebar agama Islam di Kalimantan Barat. Kehadiran kesultanan yang bercorak Islam membawa pengaruh yang besar
terhadap perkembangan agama islam di Pontianak. Kesultanan Pontianak yang
terletak dipinggir sungai Kapuas dengan Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie
sebagai Sultannya menyebabkan Islam yang menjadi mayoritas dimana masyarakat di
sekitar kesultanan Pontianak seperti, di Kamping Bansir, di Kampung Kapur,
Kampung banjar Serasan dan Kampung Saigon sangat kental dengan pengaruh agama
Islam. Di daerah Kampung Kapur terdapat seorang guru ngaji yang bernama Djafar
yang pada jaman tersebut beliau adalah salahseorang yang termasyhu, Sultan
Syarief Abdurrahman Al-Qadrie mengundang Djafar khusus untuk menjadi guru ngaji
di lingkungan Keraton Kadariyah Pontianak. Hal ini membuktikan bahwa Islam pada
masa itu sudah menyebarluas kewilayah Pontianak. Ustadz
Dza’far yang
kelak menurunkan anak yang bernama Kurdi Djafar yang dikenal sebagai pendiri
cabang Muhammadiyah di Sungai Bakau Kecil di Mempawah.
Daerah pertama di Kalimantan
Barat yang diperkirakan terdahulu mendapat sentuhan agama Islam adalah
Pontianak, Matan dan Mempawah. Islam masuk ke daerah-daerah ini diperkirakan
antara tahun 1741, 1743 dan 1750. Menurut salah satu versi pembawa islam
pertama bernama Syarief Husein, seorang Arab. Versi yang lebih lengkap menyatakan,
nama beliau adalah Syarif Abdurrahman al-Kadri, putra dari Svarif Husein.
Diceritakan bahwa Syarief Abdurrahman Al-Kadri adalah putra asli Kalimantan
Barat. Ayahnya Sayyid Habib Husein al-Kadri, seorang keturunan Arab yang telah
menjadi warga Matan. Ibunya bernama Nyai Tua, seorang putri Dayak yang telah
menganut agama Islam, putri Kerajaan Matan. Syarif Abdurrahman al-Kadri lahir
di Matan tanggal 15 Rabiul Awal 1151 H (1739 M). Jadi ia merupakan keturunan
Arab dan Dayak dan Ayahnya Syarief Husein (Ada yang menyebutnya Habib Husein)
menjadi Ulama terkenal di Kerajaan Matan hampir selama 20 tahun.
Melihat keterangan di alas
tampak bahwa islam masuk di Kalimantan Barat dibaw-a oleh juru dakwah dari
Negeri Arab. Ini sejalan dengan teori beberapa sejarawan Belanda diantaranya
Crawford (1820), Keyzar (1859), Neiman (1861), de Hollander (1861), dan Verth
(1878). Menurut mereka penyiar Islam di Indonesia (Nusantara) berasal dari
arab, tepatnya dari Hadramat, Yaman. Teori ini didukung pula oleh sejarawan dan
ulama Indonesia modern, seperti Hamka, Ali Hasyim, Muhammad Said dan Syed
Muhammad Naquib a( atlas (Malaysia).
Memang ada teori lain yang
menyatakan Islam di Nusantara berasal dari anak Benua India, yaitu dari Gujarat
dan Malabar yang bermazhab Syafi’i. Teori ini dekemukakan oleh Pijnapel,
seorang ahli sejarah melayu dari Universitas Leiden, Belanda, yang mengemukakan
teorinya tahun 1872, yang menurut Azyumardi Azra diperkirakan diadopsi dari
catatan perjalanan Sulaiman, Marcopolo dan Ibnu Baturiah. Teori lainnya,
menyatakan Islam di Nusantara disebarkan oleh pedagang dan juru dakwah dari
Benggala (Bangladesh) sekarang, yang titian dakwahnya melalui Cina (Kanton),
Pharang (Vietnam), Lerang dan trengganu, Malasia. Teori ini dianut oleh Tome
Pieres dan SQ Fatimi:
Teori-teori diatas mungkin
saja ada benarnya, mengingat banyaknya wilayah pantai Nusantara yang menjadi
pusat perdagangan dan sekaligus penyiaran Islam. Tetapi melihat nama syarif
Husein Al-Kadri dan putranya Syarif Abdurrahman al-Kadri yang pertama kali
membawa dan menyiarkan Islam di Kalimantan Barat, maka tidak diragukan lagi
untuk wilayah Kalimantan barat saat itu pembawanya adalah juru dakwah dari
Arab.
Tidak dijelaskan secara pasti
apakah Syarif Husein seorang pedagang atau Ulama karena diatas disebutkan
aktifitasnya sebagai Ulama mencapai 20-an tahun. Tetapi diperkirakan, mulanya
ia memang seorang pedagang, sebagaimana tipologi orang Arab pada umumnya,
tetapi dimasa tuanya lebih memfokuskan sebagai Ulama atau juru dakwah.
Sedangkan aktivitas dan bakat sebagai pedagang diwariskan kepada putranya,
Syarif Abdurrahman al-kadri.
Terbukti sewaktu mudanya Syarif Husein al-Kadri aktif berdagang
mengelilingi daerah-daerah di Sumatera seperti Tambilahan, Siantan, Siak, Riau
dan Palembang, juga dikawasana Kalimantan, seperti Banjar Kalimantan Selatan
dan Pasir di Kalimantan Timur. Bahkan ia juga berhubungan dagang dengan para
pedagang Indonesia lainnya dan pedagang mancanegara, seperti dari Arab, India,
Cina, Inggris, perancis dan belanda. Dari pengalaman dan kesuksesannya
berdagang, ia membangun armada dagang yang kuat yang dilengkapi persenjataan
serta kapal-kapal yang tangguh, yang dipimpin seorang sahabatnya bernama
Juragan Daud.
Jadi masuknya Islam di
Kalimantan Barat berjalan secara alami: Habib Husein al-Kadri sebagai juru
dakwah pertama, dilanjutkan oleh putranya Syarif Abdurrahman al-kadri bersama
para kader dakwah lainnya. Disebut alami disini karena selain tugas dakwah dijalankan,
aktivitas ekonomis juga digerakkan sehingga para juru dakwah perintis ini
memiliki kekuatan ekonomi yang kuat. Dengan kekuatan ekonomi ini pula dakwah
menjadi semakin berhasil, ditambah relasi yang luas dengan para pedagang
lainnya. Walaupun bagi Kalimantan barat, datangnya Islam yang dibawa oleh
Syarif Husein alKadri, Kalimantan barta bukan merupakan daerah pertama yang
didatanginva. Dan rentetan kronologi sampai akhirnya beliau menetap dan
memusatk~ul dakwah di Kalimantan Barat.
Beliau sendiri lahir tahun
1118 H di Trim Hadramat Arabia. Tahun 1142 H setelah menamatkan pendidikan
agama yang memadai, atas saran gurunya berangkat menuju negeri-negeri timur
bersama tiga orang kawannya untuk mendakwah islam. Tahun 1145 H mulanya mereka
tiba di Aceh. Sambil berdagang mereka mengajarkan Islam disana. Lalu perjalanan
di lanjutkan ke Betawi (Jakarta) sedanglan temannya Sayyid Abubakar Alaydrus
menetap di Aceh, Sayyid Umar Bachasan Assegaf berlayar ke Siak dan Sayyid
Muhammad bin Ahmad al-Quraisy ke Trenggano. Syarif Husein al-kadri tingggal di
betawi selama 7 bulan, kemudian di Semarang selama 2 tahun bersama Syekh Salam
Hanbali. Tahun 1149 beliau berlayar dari Semarang ke Matan (ketapang)
Kalimantan Barat dan diterima di Kerajaan Matan.
Seiring dengan usaha dakwahnya, penganut Islam semakin bertambah dan Islam
memasyarakat sampai ke daerah pedalaman. Maka antara Tahun 1704-1755 M ia
diangkat sebagai Mufti (hakim Agama Islam) dikerajaan Matan. Selepas togas
sebagai Mufti, beliau sekeluarga diminta oleh raja Mempawah Opo Daeng Menambun
untuk pindah ke Mempewah dan mengajar agama disana sampai kemudian diangkat
menjadi Tuan Besar Kerajaan Mempewah, sampai wafatnya tahun 1184 dalam usia 84
tahun.
C. Bentuk-bentuk
Peradaban Islam di Pontianak
1. Keraton Kadiriyah
Masuknya Islam di Kota Pontianak tidak bisa dilepaskan dari Keraton
Kadiriyah. Bahkan, keraton ini ikut membidani lahirnya kota yang dilewati garis
ekuator ini. Keraton Kadiriyah didirikan oleh Sayyid Syarif Abdurrahman Alkadri
yang merupakan saudagar dan kerap melakukan perjalanan perdagangan ke berbagai
negara. Menurut sejarahnya, Keraton Kadiriyah dibangun tahun 1771 M dengan luas
sekitar 60 x 25 meter dengan terbuat dari kayu belian pilihan.
Kendati usianya telah ratusan tahun lebih, tapi keberadaan keraton hingga
kini masih menjadi kebanggan masyarakat. Bahkan, tempat ini menjadi salah satu
desteni sejarah yang selalu ramai dikunjungi wisatawan, baik lokal maupun
mancanegara.
Seperti ketika hidayatullah.com mengunjunginya
beberapa waktu lalu. Nuansa keraton masih sangat terasa. Terlihat simbol
keraton di beberapa sudut kota. Salah satunya yang berada di pintu gerbang
gapura dekat jalan raya besar, tempat masuknya keraton. Terlihat ucapan tahniah
selamat datang dan salam dari Keraton Kadiriyah. Ucapan itu dilengkapi ukiran
yang indah.
Lebih jauh, nuansa itu akan terasa ketika berada di lokasi ini. Ada sebuah
pintu gerbang kuno berwarna kuning. Pintu gerbang dibangun dengan tembok tebal
dengan atap di bagian atasnya. Terlihat tulisan Allah dan Muhammad di sisi
kanan dan kiri. Sedangkan di tengahnya sebuah simbol topi raja. Yang membuat
kesan kuno gerbang ini adalah dua meriam bekas yang terdapat di depannya.
Meriam itu tidak saja berada di depan pintu gerbang keraton. Meriam
berwarna kuning juga berada tepat di depan keraton. Meriam kuno yang
sebagiannya sudah karatan itu menghadap ke atas. Terlihat moncongnya yang siap
memuntahkan pelurunya. Konon, meriam itu buatan Portugis dan Perancis.
Setidaknya, di sekitar keraton ini ada kurang lebih tiga belas meriam.
Bentuk keraton ini terbilang unik. Sangat kental nuansa klasiknya.
Arsitekturalnya bernuansa lokal. Belum tersentuh gaya asing. Bagian depan
keraton ini berupa bangunan tingkat. Ada tulisan Muhammad dengan huruf Arab
serta gambar bintang dan bulan sabit. Sedangkan di bagian atasnya terdapat
tulisan dengan bahasa Arab melayu: “Istana Kadriyah.”
Keraton Kadiriyah terbuat dari kayu belian yang kokoh. Karena itu, meski
usianya sudah ratusan tahun, tapi masih kuat. Hanya terlihat beberapa bagiannya
yang mulai rapuh dan catnya yang mulai pudar. Kendati demikian, hal itu tidak
mengurangi keelokan keraton tua ini.
Hidayatullah.com pun disambut Syarifah, salah satu penghuni keraton ini ketika hendak masuk
dan mengetahui lebih detil isinya. Katanya, ia masih memiliki hubungan darah
atau cucu dari Shultan ke enam keraton tersebut. Dan, yang boleh tinggal di
dalam keraton adalah yang memiliki garis keturunan dengan Shultan. Keraton
sendiri kata Syarifah sangat berjasa terhadap perkembangan Islam di bumi
Pontianak.
“Perjuangan para Shultan sungguh sangat luar biasa. Mereka tidak saja
melawan penjajah tapi juga hantu yang paling menakutkan,” tuturnya. Dalam melawan penjajah itu, katanya, banyak
keluarga keraton yang terbunuh. Syarifah masih sangat ingat, ketika masih
kecil, ia melihat beberapa saudaranya yang meninggal dibunuh penjajah. Ia
sendiri ketika itu lolos karena diselamatkan oleh salah seorang
saudaranya. “Ketika itu banyak keluarga saya yang mati dibunuh, ditembak
oleh penjajah Jepang. Benar-benar tragis,” katanya.
Jadi, keraton Kadariyah merupakan suatu peradaban yang pertama yang
melambangkan bahwa islam sudah berkembang di pontianak pada masa itu. Yang
diperkenalkan oleh Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie yang pada saat itu
sebelum ia mengenalkan ajaran Islam dan menetap di Pontianak, ia sudah terlebih
dahulu menetap di Kerajaan Mempawah.
2. Masjid Jami
Pendiri masjid Jami’ sekaligus pendiri Kota Pontianak adalah Syarif
Abdurrahman Al-Qadrie. Ia seorang keturunan Arab, anak Al-Habib Husein, seorang
pentebar agama Islam dari Jawa. Al-Habieb Husein datang ke Kerajaan Maratam
pada 1733 Masehi. Al-Habib Husein menikahdengan putri Raja Matan (kini
Kabupaten Ketapang) Sultan Kamaluddin, bernama Nyai Tua. Dari pernikahan itu
lahirlah Syarif Abdurrahman Al-Qadrie yang meneruskan jejak ayahnya menyiarkan
agama Islam.
Masjid yang dibangun aslinya beratap rumbia dan konstruturnya dari kayu.
Syarif Abdurrahman meninggal pada 1808 Masehi. Ia memiliki putra bernama Syarif
Usman. Saat ayahnya meninggal, Syarif Usman masih berusia kanak-kanak, sehingga
belum bisa meneruskan pemerintahan sementara dipegang adik Syarif Abdurrahman,
bernama Syarif Kasim. Pembangunan masjid kemudian dilanjutkan Syarif Usman, dan
dinamakan sebagai Masjid Abdurrahman, sebagai penghormatan dan untuk mengenang jasa-jasa
ayahnya. Beberapa ulama terkenal pernah mengajarkan agama islam di masjid Jami’
Sultan Abdurrahman. Mereka diantaranya Muhammad al-Qadrie. Habib Abdullah
Zawawi, Syrkh Zawawi, Syekh Madani, H.Ismail Jabbar, dan H. Ismail Kelantan.
Masjid jami’ pontianak dapat menampung sekitar 1500 jamaah shalat. Masjid
akan penuh terisi jamaah shalat, saat waktu shalat jum’at dan terawih ramadhan.
Pada sisi kiri pintu masuk masjid, terdapat pasar ikan tradonal. Di belakangya
merupakan pemukiman padat penduduk Kampung Beting, kelurahan Dalam Bugis dan
dibangun depan masjid yang juga mengahadap ke barat, terbentang Sungai Kapuas.
Jika melihat ke bagiandalam masjid, terdapat enam pilar dari kayu blian
berdiameter setengah meter. Dan peluksan tangan orang dewasa tak akan mampu
mencapai lingkaran pilar. Selain piloar bundar, juga ada enamn tiang
penyangganya yang mwnjulang ke langit-langit masjid, berbentuk bujur
sangkar. Pilar bujur sangkar itu
berukuran kayu belian untuk tiang rumah dewasa ini. Namun ukurannya di atas
rata-rata. Jika sekarang ada ukuran 6X6, 7X7, 8X8 dan 10X10 maka tiang tersebut
lebih besar lagi. Masjid itu memiliki mimbar tempat khutbah yang unik, mirip
geladak kapal. Pada sisi kiri dan kanan mimbar terdapat kaligrafi yang ditulis
pada kayu plafon. Hampir 90% konstruksi bangunan masjid terbuat dari kayu
belian. Atapnya yang semula dari rumbia, kini menggunakan sirap, potongan
belian berukuran tipis. Atapnya bertingkat empat. Pada tingkat kedua, terdapat
jendela-jendela kaca berukuran kecil. Sementara di bagian paling atas, atapnya
mirip kuncup bunga atau stupa. Jendelanya yang berjejeran dengan pintu masuk,
berukuran besar-besar, juga dari kaca tembus pandang. Ada pula kaca yang
berwarna merah dan kuning.
Masjid Jami’ ini sengaja dibuat untuk mengenang jasa-jasa Syarif
Abdurrahman yang telah menyebarkan ajaran Islam sehingga Islam sangat mudah
untuk diterima dan menjadi agama yang mayoritas, sehingga masjid tersebut
diberi nama Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman dan dengan mendirikan masjid maka
dapat membuktikan bahwa Islam pada masa awal penyebarannya sudah dapat diterima
masyarakat setempat dan menjadikannya sebagai pusat penyebaran Islam.
3. Makam Batu Layang
Makam Batu Layang juga biasa disebut Taman Makam dari Kerajaan Pontianak,
mulai dari Raja Pertama (Sultan Syarief Abdurrahman Al-Qadrie) hingga Raja
Terakhir (Sultan Hamid II) serta beberapa keluarga raja. Tempat ini biasanya
ramai dikunjungi khususnya pada Hari Besar Islam. Makam ini terletak
kuarang lebih dari 2 kilometer dari Tugu
Khatulistiwa yang dapat dikunjungi dengan menggunakan transportasi darat maupun
transportasi air (sampan).
Makam Batu Layang juga dapat dikatakan menjadi salah satu bentuk Peradaban
Islam di Pontianak mungkin dikarenakan tempat ini merupakan tempat dimana pahlawan
agama Islam dimakamkan dan mereka merupakan penyebar ajaran Islam sehingga
Islam sangat berkembang pada masa itu hingga sekarang manjadi agama yang
mayoritas sehingga tempat makam Batu Layang ini dijadikan tempat atau sebagai
bentuk peradaban islam di kota Pontianak. Makam ini pula yang menjadi petanda
kalau di Pontianak pernah ada orang-orang yang memang berjasa dalam menyebarkan
Islam di kota Pontianak, sehingga menjadi salah satu bentuk peradaban Islam di
Pontianak.
4. Bidang Pendidikan
Madrasah yang pertama didirikan di Pontianak yaitu Madrasah Al-Raudatul
Islamiyah didirikan pada tahun (1936). Madrasah ini terdiri dari dua bagian :
1. Bagian Ibtidaiyah, lama
pelajarannya 6 Tahun ( 6 Kelas ).
2. Bagian Tsanawiyah, lama
pelajarannya 3 Tahun ( 3 Kelas ).
Pelajarannya ialah ilmu-ilmu agama dan ditambah pengetahuan umum. Sebagai
ketua pengurus Madrasah ini ialah H. Ustman, H. Abdurrahim dan kepala madrasah
A. Rani Mahmud dan wakilnya Abdul Hamid.
Perkembangan berikutnya lahirnya berbagai organisasi Islam yang menjalankan
pendidikan Islam pada beberapa sekolah maupun yayasan di Pontianak, antara lain
1. Yayasan Pendidikan
Bawari ( Badan Waqaf Al-Madrasah Raudatul Islamiyah )
2. Yayasan Pendidikan
Islamiyah
3. Yayasan Pendidikan
Bawamai ( Badan Waqaf Al-Madrasah Al-Arabiyah Islamiyah
)
4. Yayasan Pendidikan
Muhammadiyah
Ulama yang sangat berperan penting dalam membentuk dan mengembangkan
pendidikan Islam di era era tahun enam puluhan dan sampai delapan puluhan di
Pontianak diantarannya adalah:
1. Haji Ismail bin Abdul Karim alias Ismail Mundu (Mufti
Kerajaan Kubu)
2. Syech Abdullah Zawawi
(Mufti Kerajaan Pontianak)
3. Syech Sarwani
4. Habib Muksin AlHinduan
(Tharekat Naqsabandiyah)
5. Syech H.Abdurrani
Mahmud (Ahli Hisab)
6. Habib Saleh AlHaddat
7. Haji Abdus Syakur Badri
alias Haji Muklis
8. Haji Ibrahim
Basyir alias Wak Guru
Jadi, Bidang pendidikan dijadikan sebagai salah satu bentuk peradaban Islam
di Pontianak, dikarenakan dengan semakin berkembangnya agama Islam di Pontianak
maka juga diperlukan organisasi pendidikan untuk mengenal atau menjadi wadah
dalam mengajarkan pendidikan Islam pada generasi penerus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar